Kelalaian Pendiri Start-Up Yang Merupakan Bom Waktu
Jumat, 30 Mei 2025
Penyusun: David Adam Putra Sianipar
Hubungi kami melalui pesan
Kelalaian Pendiri Start-Up Yang Merupakan Bom Waktu
Jumat, 30 Mei 2025
Penyusun: David Adam Putra Sianipar
Selama mendampingi beberapa perusahaan rintisan (atau yang dikenal dengan istilah “Start-Up”), saya sering menemukan beberapa hal yang semestinya diperhatikan para pendirinya akan tetapi sering diabaikan karena berbagai alasan. Alasan pengabaiannya pun berbagai macam, ada yang karena saling percaya, ada yang karena sering menunda-nunda, hingga ada yang karena merasa dirinya tidak paham sehingga malas untuk menggali lebih dalam hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan sebelum mendirikan Start-Up. Padahal, jika para pendiri lebih kritis terhadap hal-hal yang perlu diperhartikan pada saat pendiriannya maka konflik bisa lebih ditekan. Sehingga, para pendiri bisa lebih fokus untuk menjalankan kegiatan usahanya ketimbang fokus menyelesaikan konflik yang terjadi pada Perusahaan rintisannya. Dari sini saya mencoba untuk merangkum kelalaian apa saja yang sering dilakukan para pendiri Start-Up. Semoga bermanfaat.
Konflik Kepentingan
Para pendiri Start-Up umumnya adalah teman se-profesi, teman se-masa kuliah, atau mungkin kenalan yang dirasa memiliki ide yang sama, tujuan yang sama, serta keinginan yang sama untuk mendirikan suatu usaha demi mencapai suatu keuntungan. Umumnya, akan ada yang bertindak sebagai pemodal atau pencari modal, ada juga yang akan bertindak mengurusi riset dan pengembangan produk, ada juga yang akan mengelola keuangan. Tidak lupa juga pembagian keuntungan tentunya akan menjadi pembahasan yang menjadi prioritas. Hanya saja, segala hal yang disusun itu tidak dibuat secara tertulis. Sehingga, tidak ada dokumentasi yang jelas tentang apa saja yang disepakati, bagaimana eksekusinya, bahkan pembagian tanggung jawabnya pun akan menjadi bias. Ujung-nya, akan ada pihak yang merasa bahwa pembagian tugas dan pendapatan yang tidak adil, ada juga yang merasa karena dirinya sudah mendatangkan investor sehingga dia harus mendapat keuntungan lebih besar, atau bisa saja ada pihak yang merasa karena dirinya mampu membuat produk yang diterima banyak orang maka dia merasa bahwa tanpa dirinya Start-Up yang didirikan tidak akan dapat berjalan. Hal-hal seperti ini semestinya bisa di-mitigasi sejak awal. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan membuat suatu;
Perjanjian Pendiri (“Founders Agreement”);
Perjanjian Pemegang Saham (“Stareholders Agreement”); atau
bisa juga dengan menggabungkan keduanya.
Tidak Memahami Anggaran Dasar Perusahaan
Dalam mendirikan suatu usaha rintisan, baik itu dalam bentuk PT, CV, Firma, maupun Persekutan Perdata, membuat dan menyusun suatu Anggaran Dasar penting dilakukan. Hal ini juga sebagai syarat mutlak dalam mendirikan suatu usaha, yang mana segala kegiatan operasional perusahaan tidak boleh bertentangan dalam Anggaran Dasar. Akan tetapi, banyak para pendiri Start-Up yang abai dan tidak mau mendalami maksud dan tujuan dari isi Anggaran Dasar yang mereka buat. Sehingga, rawan terjadi kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar dan bisa berakibat pada suatu pelanggaran hukum. Dengan melihat risiko itu, maka perlu bagi para pendiri Start-Up untuk betul-betul memahami maksud dan tujuan dari isi Anggaran Dasar sebelum pendirian badan dilakukan. Anggaran Dasar adalah suatu “Kitab” yang harus dikuasai dan menjadi pedoman para pendiri usaha. Anggaran Dasar itu juga harus dihormati bersama-sama.
Acuh Dalam Melakukan Riset Kegiatan Usaha
Kebanyakan para pendiri Start-Up hanya berfokus pada riset atas pasar dan pengembangan produk, akan tetapi tidak melihat bagaimana regulasi atas kegiatan usaha itu. Saat ini kegiatan usaha di Indonesia dibagi dalam 4 resiko, yakni; a) resiko rendah; b) resiko menengah rendah; c) resiko menengah tinggi; dan d) resiko tinggi. Dengan mengetahui sejauh mana resiko usaha yang akan dilakukan maka perusahaan dapat melihat kira-kira pemenuhan izin apa saja yang diperlukan sebelum kegiatan usaha dilakukan. Tidak melakukan pemenuhan izin maka sama saja dengan melakukan suatu pelanggaran yang dapat dikenai sanksi oleh Pemerintah. Sanksinya pun beragam. Ada yang berupa sanksi administratif hingga sanksi pidana. Sehingga, selain melakukan riset atas pasar dan pengembangan produk, pada pendiri Start-Up juga perlu untuk melakukan riset atas kegiatan usaha untuk mengetahui sejauh mana resiko usaha-nya dan pemenuhan izin seperti apa yang perlu dilakukan agar terhindar dari sanksi yang bisa saja dijatuhkan oleh Pemerintah.
Rendahnya Perhatian Pada Aspek Hukum
Kelalaian lain para pendiri Start-Up adalah rendahnya perhatian terhadap aspek hukum. Hal ini sering terjadi karena para pendiri hanya berfokus pada pasar dan pengembangan produk, sementara urusan hukum dianggap sebagai hal yang bisa ditunda atau biaya yang dapat dihemat. Padahal, abai terhadap aspek hukum dapat berdampak pada keberlangsungan bisnis dan kepercayaan investor. Beberapa contoh kejadian yang merupakan dampak dari rendahnya perhatian pada aspek hukum diantaranya;
Sengketa kepemilikan antar pendiri;
Pelanggaran atau tidak terlindunginya kekayaan intelektual;
Masalah kontrak yang merugikan atau tidak sah;
Tuntutan hukum akibat ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku;
Pemahaman yang kurang terhadap kontrak investasi yang dapat berujung pada kerugian bagi para pendiri.
Oleh karena itu, kesadaran hukum sejak dini bukan lagi sekedar formalitas melainkan menjadi salah satu modal awal bagi para pendiri Start-Up. Memiliki mindset proaktif terhadap potensi risiko hukum sejak awal memungkinkan para pendiri untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memitigasi ancaman sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar dan mahal. Kesadaran ini mendorong para pendiri untuk tidak hanya fokus pada aspek inovasi dan pasar, tetapi juga memahami batasan dan kewajiban hukum yang melekat pada kegiatan bisnis mereka. Langkah-langkah pencegahan yang terencana dan dilaksanakan dengan baik dapat juga dilakukan melalui berkonsultasi dengan ahli hukum guna memberikan panduan bagi para pendiri. Investasi pada nasihat hukum di awal jauh lebih efisien dibandingkan menanggung biaya litigasi atau kerugian bisnis akibat masalah hukum di kemudian hari.
Kurangnya Transparansi Laporan Keuangan
Berkaitan dengan keuangan merupakan hal sensitif yang apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan rasa saling curiga dan menurunnya tingkat kepercayaan. Pada kondisi yang ekstrem, kurangnya transparansi laporan keuangan bahkan dapat berujung pada indikasi perbuatan pelanggaran hukum. Sehingga menyusun mekanisme laporan keuangan perlu dilakukan oleh para pendiri Start-Up. Laporan keuangan dapat dilakukan satu bulan sekali melalui rapat koordinasi. Kemudian perencanaan pemasukan dan pengeluaran pun harus di-atur sedemikian rupa agar pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola keuangan dapat mengetahui batasan-batasan dan sejauh mana wewenang yang dapat dilakukan.
Lemahnya Pengawasan Terhadap Operasional Kerja
Lemahnya pengawasan terhadap operasional kerja dapat menjadi bom waktu, mengingat budaya kerja Start-Up pada umumnya seperti peran kerja yang seringkali berubah-ubah, jam kerja yang fleksibel, dan tingginya tingkat tanggung jawab yang dilimpahkan kepada masing-masing individu. Hal ini dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan yang cepat. Akan tetapi, tanpa sistem pengawasan yang memadai, justru dapat menciptakan celah terhadap potensi fraud.
Perubahan peran yang konstan berpotensi mengaburkan garis tanggung jawab dan akuntabilitas, sehingga sulit mendeteksi jika terjadi penyimpangan.
Jam kerja yang fleksibel meskipun memberikan kebebasan, memerlukan mekanisme pelaporan dan pemantauan kinerja yang jelas agar tidak disalahgunakan atau dimanfaatkan untuk tindakan tidak jujur.
Tingginya tingkat kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada individu, tanpa adanya pengawasan, dapat menjadi peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan kecurangan dalam waktu lama.
Oleh karena itu, para pendiri Start-Up perlu membangun sistem pengawasan untuk memastikan pertumbuhan usaha yang sehat dan berkelanjutan.
Dokumentasi dan Pengarsipan
Salah satu kelalaian yang seringkali diremehkan oleh para pendiri Start-Up, adalah lemahnya sistem dokumentasi dan pengarsipan. Padahal, mengabaikan dokumendasi dan pengarsipan dokumen-dokumen dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Fokus yang berlebihan pada eksekusi cepat dan keterbatasan sumber daya seringkali membuat tugas-tugas seperti pencatatan informasi penting dan penyimpanan dokumen terabaikan. Akibatnya bisa beragam, diantaranya;
Perusahaan berisiko kehilangan informasi saat terjadi perubahan tim;
Menjadi tidak efisien akibat pekerjaan yang berulang;
Kesulitan dalam mengambil keputusan karena tidak ada data yang akurat;
Terhambat dalam inovasi produk karena kurangnya informasi terdahulu; bahkan
Masalah hukum akibat ketidakmampuan menunjukkan bukti kepatuhan.
Dokumentasi dan pengarsipan yang tidak rapi dapat juga menjadi batu sandungan saat perusahaan berupaya mendapatkan pendanaan atau menjalani proses due diligence. Oleh karena itu, membangun sistem dokumentasi dan pengarsipan yang efektif sejak dini merupakan langkah penting yang tidak boleh diabaikan untuk memastikan operasional yang efisien, pengambilan keputusan yang tepat, kepatuhan hukum, dan keberlanjutan pertumbuhan Start-Up.
Selain dari hal-hal yang sudah disebutkan, hal lainnya seperti strategi, visi misi, tim maupun sumber daya manusia, pengelolaan dan pendapatan, serta pengembangan produk tentunya menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Sehingga saya menyarankan kepada para pendiri Start-Up untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada yang lebih berpengalaman agar dapat terhindar dari “Bom Waktu”.